Langkat – Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) diharapkan segera menerapkan Perpres Nomor 55 Tahun 2024 terkait Undang-undanh Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Seperti sosialisasi yang disampaikan Aliansi Sumut Bersatu (ASB), di Dinas PPKB dan PPA Langkat, Selasa (17/12/2024) pagi.
“Kami melaksanakan diseminasi publik tekait policy brief, dimana pada Bulan September-Oktober 2024 kemarin, ASB melakukan penelitian terkait urgensi penyesuaian UPTD PPA di Kabupaten Langkat yang di Oktober 2023 dibentuk berdasarkan Permen nomor 4 tahun 2018,” ujar Direktur ASB Ferry Wira Padang.
Wanita ramah ini menambahkan, di Indonesia sudah ada UU TPKS yang merupakan salah satu turunan dari Perpres Nomor 55 Tahun 2024 terkait pembentukan UPTD PPA. Dua kebijakan tersebut, terdapat perbedaan.
Revisi Perbub
Dimana, pada Permen Nomor 4 memberikan 6 mandat tupoksi bagi UPTD PPA. Sementara, pada Perpres Nomor 55 ada 11 tupoksi. Artinya, Perpres tersebut lebih menjamin layanan yang UPTD. Sehingga, dapat mengakomodir TPKS lebih komplek lagi. Baik untuk pemulihan, perlindungan, dan penanganan kasus terhadap kekerasan perempuan dan anak.
Bagi ASB sendiri, mendorong UPTD PPA khususnya di Langkat untuk melakukan penyesuaian merupakan hal yang penting. Terutama pada Bagian Hukum Pemkab Langkat, untuk melakukan revisi terhadap Perbub Tahun 2023 agar disesuaikan dengan kebutuhan mandat Perpres Nomor 55 tersebut.
Dari catatan ASB, sejak UU TPKS digunakan dalam menindak kasus kekerasan di Langkat, belum semuanya menggunakan undang-undang tersebut.
“Belum familiar, ketika misalnya ada kasus kekerasan seksual otomatis menggunakan UU TPKS, belum maksimal lah ya. Sementara, sejak Januari-Juni 2024, kasus TPKS sebanyak 49 kasus. Bahkan, tiap hari masih banyak kasus kekerasan seksual,” Tutur Wira.
Terobosan UU TPKS
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Veryanto Sihotang menerangkan, salah satu terobosan dalam UU TPKS adalah dalam penyelesaian perkara tindakan kekerasan seksual.
“Aparat Penegak Hukum (APH) harus merujuk ke UU TPKS ini untuk seluruh aspek pelindungan, penanganan, pemulihan korban dan hukum acara pidananya,” ujar Veryanto Sihotang.
Kemudian, tentang delik yang digunakan untuk pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik, merupakan delik aduan yaitu hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari korban.
“Namun, bagi korban TPKS penyandang disabilitas atau anak, aturan delik aduan ini tidak berlaku. Artinya, perkaranya dapat diproses lebih lanjut oleh pihak berwenang tanpa perlu adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan,” tegas Very. (Ahmad)